Sejarah
Yogyakarta adalah sejarah perjuangan RI. Yogyakarta memperoleh status
sebagai daerah istimewa atas dasar sejarah pada saat terbentuknya
negara. DIY resmi terbentuk 4 Maret 1950, melalui UU No. 3 tahun 1950.
Namun kehadirannya sebagai daerah istimewa sudah ditetapkan dua hari
setelah proklamasi kemerdekaan.
Yogyakarta
berawal dari terbentuknya Kerajaan Mataram Kuno. Pada tahun 732,
Kerajaan Mataram Kuno diperintah Raja Sanjaya. Kemudin kurun waktu
750-850, Dinasti Sailendra menjadi penguasa Mataram. Dia membangun
candi Borobudur yang selesai pembangunannya di 825, di era raja
Samaratunga.
Kurun waktu
1613-1645, Sultan Agung memerintah di Kerajaan Mataram Islam. Sultan
Agung berhasil memperluas wilayah kerajaannya sampai keseluruh Jawa
Tengah, sebagian Jawa Timur, Kalimantan dan sebagian Jawa Barat.
VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie), yang pada waktu itu telah
menguasai Batavia menjadi penghalang perluasan wilayah. Untuk
menghilangkan penghalang itu, Sultan Agung melakukan serangan terhadap
VOC. Serangan dilakukan pada 1628 dan 1629. Namun mereka gagal
mengalahkan VOC.
Peperangan
antara Mataram dengan VOC secara keseluruhan dimenangkan VOC. Mereka
berhasil mengusahakan ‘perdamaian’, yaitu, dengan menggelar penjanjian
Giyanti. Melalui perjanjian ini, Mataram pecah menjadi Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Pada
1755, Mangkubumi mengubah gelar dari Susuhunan menjadi Sultan. Selain
itu, dia mengubah namanya menjadi Hamengkubuwono, sekarang dikenal
dengan nama Sultan Hamengkubuwono I. Setelah Hamengkubuwono I meninggal
dunia, Kasultanan Yogyakarta diperintah Hamengkubuwono II (1792-1810).
Era
pemerintahan Hamengkubuwono II ini diwarnai penahanan Belanda atas
adik Sultan, yaitu, Pangeran Notokusumo. Pada 1811, Inggris yang waktu
itu menguasai Jawa, membebaskannya. Pangeran Notokusumo kemudian
bergelar Sri Paku Alam I dan mengembangkan pemerintahan di Pakualaman.
Jadi,
Kasultanan Yogyakarta memiliki hubungan yang sangat erat dengan
Kadipaten Pakualaman karena pendiri Kadipaten Pakualaman ini merupakan
anak dari dari Sultan Hamengkubuwono I (pendiri Kasultanan Yogyakarta).
Menginjak
abad dua puluh, sebelum proklamasi kemerdekaan RI, Yogyakarta masih
merupakan dua buah kerajaan, yaitu, Kesultanan Yogyakarta dengan Sultan
Hamengkubuwono IX sebagai rajanya, dan Kadipaten Paku Alaman dengan
Paku Alam VIII sebagai rajanya.
Ketika
berita proklamasi sampai ke Yogyakarta, melalui suatu pertemuan,
keduanya sepakat untuk menyambut proklamasi tersebut sebagai suatu
cita-cita bersama yang telah tercapai. Keduanya memberikan dukungan
penuh pada kepemimpinan presiden Soekarno dan Wakil presiden Mohammad
Hatta.
Pada 1947 berdiri kota
Yogyakarta yang wilayahnya meliputi Kabupaten Yogyakarta, terdiri dari
Kasultanan dan Paku Alaman, ditambah sebagian kecil daerah bekas wilayah
Kabupaten Bantul.
Pada saat
ibukota RI pindah ke Yogyakarta, selain presiden dan wakil presiden,
turut pindah ratusan ribu orang yang terdiri dari para pemimpin bangsa,
pegawai dan kaum republikan yang dengan semangat tinggi ingin
mempertahankan kemerdekaan.
"Saya akan mempertimbangkan kembali
jabatan Gubernur DIY, itu merupakan pernyataan politik saya. Silahkan
bagaimana mau menafsirkannya," kata Sultan yang juga Raja Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat di DIY, Sabtu (27/11). Masalah ini memang
demikian rumit, antara demokrasi, daerah Istimewa, dan sejarah.
Source: http://inilah.com
Intermezzo:
Mengapa
Pak SBY menyinggung soal Yokyakarta ini, dalam pemikiran saya ada
kaitannya dengan Mbah Marijan. Loh kok sampe ke si Mbah segala??? ya
iyalah, banyak korban yg tewas, dan isunya karena si mbah ngotot menjaga
gunung karena perintah Sultan Hamengkubuwono dengan mengabaikan
perintah pemerintah pusat untuk segera mengosongkan daerah sekitar
gunung. Setidaknya inilah salah satu pandangan masyarakat Indonesia.
Komentar
Posting Komentar